Friday, February 28, 2014

Day 3# Saya di 5 Tahun Mendatang

Aku di Lima Tahun yang Akan Datang

28 Februari 2019 pukul 14.50 WIB

Tanggal dan waktu diatas adalah kisaran lima tahun yang akan datang pada hari ini.
Lima tahun yang akan datang, saat usiaku 23 lebih lima tahun.
Hari sudah mulai menampakkan senjanya, merah saga mulai menumpah ruahkan isi bumi.
Senja lima tahun yang akan datang, aku sedang bermain, atau mungkin sedang bercerita melalui dongeng, atau barangkali aku sedang jalan-jalan sore bersama anak-anakku menanti sang jagoan, sang penjaga, sang pelindung bagi anak-anakku, sang pemimpin, sang pendamping, sang penuntunku yang akan menjadikanku bidadari di dunia dan di surga menanti pulang. Saat lima tahun yang akan datang, dini hari akan kuisi dengan sembah sujudku bersama dengan sang pujaan, meminta pada Allah Tuhanku, berterimakasih karena telah mempertemukan kami, dan mengisi kebahagiaan kami dengan putra-putri kami. Saat sang fajar mulai menguasai dunianya, aku bersiap – siap membersihkan rumah, mengantarkan sang penitip rindu pergi, dan siap mengantarkan anak-anakku menuntut ilmunya. Kemudian tak lupa aku mengunjungi warung makan yang sudah menjadi mimpiku sejak lama. Menyapa para anak-anak yang bekerja disana yang ku kenal saat mereka berada diantara bis-bis kota, diantara tanda pengatur lalu lintas. Mengantarkan sebagian dari mereka untuk menuntut ilmu dari hasil warung makanku. Setelahnya aku pergi menjemput peri-peri kecilku, kemudian memboyong mereka ke sebuah panti, memperkenalkan pada mereka tentang dunia yang lain. Disana aku menjadi pendongen bagi mereka, setidaknya membuat mereka merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Lima tahun yang akan datang, dalam sebulan sekali aku pergi ke bank, menyetorkan beberapa hasil keringatku untuk kutunaikan rukun islamku yang kelima, karena dua tahun setelahnya aku akan melaksanakan ibadah itu. Aku dan lima tahunku yang akan datang, bersama sang penuntunku, peri-peri kecilku, mimpi-mimpiku yang perlahan tercapai, tak lupa dengan kendaraan yang aku impikan, Vespa Primavera.

Sekian, dan berharap semua akan tercapai. Aamiin

Thursday, February 27, 2014

Day 2 "My Favourite Number"

Assalammualaikum, selamat pagi anak-anak, sudah siap menaiki satu tangga lagi hari ini?”
Waalaikumsalam, pagi Bu, siap bu, kami siap menaiki satu tangga lagi.”
Kebiasaan sepertilah yang dilakukan Bu Ratih sebelum kelas dimulai. Bu Ratih, seorang relawan pengajar SMP di sebuah pedalaman Banten. Sekolah darurat yang hanya beratap terpal dengan dinding panasnya cuaca.
Sudah siap dengerin nilai ulangan Bahasa Indonesia kalian kemarin?.”
Siap Bu”. Jawab serentak anak-anak sekelas.
Oke, yang Ibu panggil namanya, silahkan maju kedepan, seperti biasa Ibu akan panggil tiga orang pertama dengan nilai yang paling tinggi di kelas ini secara berurut, setuju?”
Setuju, Bu”.
Hayo, kalian bisa tebak gak siapa sih tiga orang pertama yang beruntung kali ini, ada yang tau?”
Pasti Dita ya Bu? Dia kan selalu dapet nilai paling tinggi, dan pasti nilainya selalu sembilan”. Jawab Budi, salah seorang murid Bu Ratih.
Rika, Rita, Waldi silahkan kalian maju kedepan dan ambil nilai ujian kalian.”
Loh, Dita tak dipanggi Bu?”. Tanya Rudi yang heran karena untuk pertama kalinya Dita tidak juara dalam ulangan.
Untuk kali ini Dita belum jadi yang pertama, mungkin lain kali ya Dit.” Jawab Bu Ratih, sambil membagikan nilai ulangan yang lainnya.
Iya Bu.” Dita hanya mengangguki pertanyaan dari guru yang sangat dia cintai.
Okeh, nilai ulangan telah dibagikan. Sekarang waktunya kita belajar, tapi karena ini pelajaran Bahasa Indonesia, Ibu mau menceritakan sesuatu, tapi setelah itu kalian harus bikin cerita. Nantinya ibu akan berikan kalian waktu lima sampai sepuluh menit untuk cari inspirasi diluar kelas. Setalah kalian menemukan apa yang mau kalian ceritakan, kita akan berkumpul di pohon rindang disebelah ruangan ini, dan kalian wajib bercerita. Okeh?”
Siap Bu.” Jawab anak-anak serempak.
Dita, nanti setelah pulang sekolah ibu mau bicara denganmu ya, kita duduk-duduk cantik saja dibawah pohon.”
Baik Bu”.
Jam pulang sekolah pun tiba, Ditapun langsung pergi ke tempat yang sudah dijanjikan dengan Bu Ratih. Dita adalah salah satu dari delapan belas siswa yang sekolah di SMP darurat itu. Jika dilihat dari umurnya, seharusnya Dita dan teman-temannya sudah masuk ke sekolah menengah. Namun, desa tempat Dita tinggal adalah desa terpencil yang jauh dari kota, sehingga fasilitas pendidikannya sangatlah minim. Dita adalah murid yang paling cerdas dikelasnya. Daya tangkap terhadap materi yang diberikan sangatlah cepat. Selain itu, ia pun sangat aktif bertanya jika ada sesuatu hal yang baru yang ia temukan. Dita, gadis kelahiran sembilan september lima belas tahun silam adalah seorang yang sangat menyukai angka sembilan. Baginya sembilan adalah angka yang sempurna. Suatu ketika, Bu Ratih pernah bertanya pada Dita, kenapa ia sangat suka sekali dengan angka sembilan, bahkan hampir semua nilai ulangannya sembilan, dan ia tak pernah mau menyempurnakan nilanya hingga sepuluh. Hanya satu alasannya yaitu, Allah sangat menyukai angka yang ganjil, dan Allah memiliki 99 nama yang baik dan ia dilahirkan di tanggal sembilan bulan september di tahun 1999.
Hay Dit, sudah lama nunggu ibu?”. Tanya Bu Ratih setibanya di bawah pohon rindang itu.
Tidak kok Bu, Oh iya ibu ada apa ya manggil saya kesini?”
Ada apa dengan nomor favoritmu, Dit? Ujianmu kali ini hanya dapat enam.”
Oh itu, aku udah tau pasti ibu mau menanyakan hal itu, aku gak bisa konsentrasi waktu ujian kemarin bu, ayahku sudah tiga hari tidak pulang dari melaut, aku khawatir. Adik-adikku tak ada yang menjaga sedangkan ibu sedang dalam keadaan sakit. “
Lalu, sudah ada kabar dari ayahmu sekarang?”.
Belum bu, sudah dua minggu aku tak mendengar kabarnya lagi.”


 

Wednesday, February 26, 2014

Pagi Kelabu Dikotaku

Ku sambut pagiku dengan keadaan tubuh yang tergesa-gesa
Hari ini, aku telat terjaga dari bunga tidurku
Ah, ternyata rintik air yang turun membuat keadaan lebih menyenangkan berada di tempat pembaringan daripada menjalani rutinitas biasa
Langit masih kelabu saat ku beranjakan kakiku melangkah keluar
Udara dingin masuk hingga ke tulang

Hay Jakarta, pagi ini kembali aku ke kotamu
Kota yang besar
Kota yang selalu riuh dengan robot-robot yang berjalan
Robot yang membuat kotamu terasa sempit
Hari ini, aku belajar lagi sebuah rasa syukur dari seorang laki paruh baya di kotamu
Lelaki yang selalu membawa teman setianya
Sapu lidi dan pula pengkinya

Matahari masih saja enggan memunculkan dirinya
Pagi ini, langit masih saja kelabu
Masih dalam keadaan rindu akan sinarnya
Tapi dibalik kelabunya, tak menyurutkan semangat si lelaki paruh baya
Lelaki yang menyapaku dengan senyumnya

Pagi masih kelabu, masih setia dengan rinai hujan yang membasahi kotaku
Tapi aku seperti melihat matahari
Sebab semangatmu, sebab senyummu, juga pakaian yang kau kenakan
Menjadikan sebuah titik yang mewarnai pagi ini
Aku malu pada keterangan ku sendiri
Malu karena aku masih saja menangisi pekerjaanku
Menangisi selamanya perjalananku

Hay lelaki paruh baya, kamu tau pagi ini dalam keadaan rinai hujan
Namun kamu masih saja setia dengan kedua temanmu, sapu lidi dan pengkinya
Masih dalam keadaan senyum, kamu menyapaku
Masih dalam keadaan senyum pula kamu membuat kotaku pagi ini lebih indah
Daun-daun yang gugur dan sampah-sampah pun kamu singkirikan

Hay, lelaki paru baya, hari ini kembali aku belajar bersyukur
Berterimakasih pada Tuhanku, yang memberikan aku seuntai nyawa untuk menikmati pagi, menikmati rintik hujan, juga menikmati senyummu

Hay lelaki paruh baya, terimakasih karena telah mengajarkanku arti bersyukur ^^

Jakarta, 26 Februari 2014