Februari
2008
Dengan
menggunakan kaos lengan pendek dan celana jeans
abu-abu, aku membuka kedai kecil yang baru saja kurilis. Berhenti
bekerja sebagai seorang akuntan, dan kini aku mencoba mengadu nasibku
melalui kedai ini. Usahaku ini tak jauh-jauh dari hobiku yang suka
dengan makanan yang manis.
Ya, isi dari kedaiku ini bukanlah restoran yang menyediakan makanan
berat, bukan nasi, bukan soto, bukan empal gentong, bukan pula
restoran yang selalu menyediakan sayur asam yang panas dengan nasi
yang masih hangat dan dikelilingi ikan asin serta sambal terasi. Tapi
isi kedaiku ini lebih kepada makanan camilan yang terdiri dari jenis
cookies,
cupcakes, lollipop serta
ice
cream.
Selain
karena hobiku yang suka dengan makanan manis,
ada maksud lain kenapa aku menjual makanan manis, ya aku hanya
berharap agar segala urusanku, termasuk usaha, keluarga, pertemanan
dan termasuk urusan jodoh agar selalu berjalan manis, seperti
makanan-makanan yang ku jual di kedai.
Juli
2011
Sina, aku mengenalnya saat
pembukaan kedai pertama kali lewat seorang teman dan kamipun menjadi
sangat dekat sejak saat itu dan tak lama kemudian aku menaruh rasa
padanya, aku berniat untuk menikahinya. Sejak awal pertemuannya, ibu
tidak setuju. Aku selalu membatah perkataan ibu jika ia sedang
menasihatiku agar berhati-hati dengan Sina. Namun apa yang dikatakan
ibu benar adanya. Aku masih ingat benar bagaimana ia bisa
berselingkuh dengan ayah, bagaimana ia bisa menghabiskan uang hasil
jerih payahku dan membuat kedaiku berhutang sana-sini sampai akhirnya
harus tutup.
Dari sinilah kutemui semua
kekacauanku. Semua yang kuharapkan saat aku membuka kedai kecil itu
tak berjalan. Keluargaku terpecah belah, usahaku bangkrut karena
harus membayar hutang sana-sini, jodoh? Ah itu semua gara-gara
perempuan sialan itu. Dia telah membuatku hampir masuk bui karena tak
sanggup membayar hutang, dia pula yang hampir membuatku jadi daftar
pasien di Rumah Sakit Sumber Waras, bahkan dia pula yang hampir
membuatku masuk neraka karena hampir gantung diri.
Namun selama aku dilanda
keterpurukan, ibu tak pernah meninggalkanku sedikitpun, padahal
dahulu aku sempat mengusirnya karena selalu menyuruhku untuk
berhati-hati dengan Sina.
“Sabarlah
sayang, kita sedang berada pada titik terlemah kita, maka dari itu
ujian datang pada kita dan Allah ingin kita berubah. Allah hanya
ingin lihat seberapa mampu kita bisa bertahan, suatu saat Allah akan
memberikan pertolongan pada kita. Jika sampai saat ibu mengecup
keningmu malam ini dan Allah belum kasih kita pertolongan, tandanya
kita berdua masih bisa melewati itu semua. Masalah kita memang besar,
tapi percayalah pertolongan Allah lebih besar.” Ah
ibu, selalu kau ucapkan kata-kata itu sebelum aku tertidur, darimulah
kini aku kembali pada kewarasanku.
Bukit
Hijau, May, 2013
Bersama
wanita yang sejak dulu kukagumi sifatnya, aku menghirup udara bebas
yang sudah dua tahun ini membelenggu. Pada detik ini, aku menyaksikan
kembali bahwa aku masih pantas untuk berdiri di bukit ini, merasakan
bagaimana angin menyentuh tubuhku secara halus, mendengarkan
bagaimana acak-acakannya suara burung yang kembali kesangkarnya. Padu
padan suara dari beberapa burung itu menggantikan nada-nada dari
radio bututku.
“Ibu
sungguh bahagia melihat putra ibu telah kembali.” Suara
yang tiba-tiba hadir terdengar ditelingaku serta tangan yang sangat
lembut usapannya menyentuh kepalaku mengagetkanku, “ibuu,
sejak kapan ada dibelakangku?”. Tanyaku
pada wanita paruh baya itu.
“Hanya
orang-orang yang beriman yang yakin pada Tuhannya, bahwa Tuhannya tak
akan meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan terendah sekalipun.
*Seperti apapun kesulitan itu pasti akan diganti dengan kemudahan.
Sebab jika tidak, hal itu akan mengurangi nilai kekuasaan Yang
Mahakuasa, bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Yang
Mahakuasa, dan berlawanan dengan kehendak Yang Maha Mengetahui*.”
Suaranya
kembali mendamaikan kejiwaanku lagi. Kasih sayangnya yang
tersampaikan melalui kecupannya pada keningku membuatku merasa jauh
lebih nyaman dibanding kecupan wanita sialan yang kutemui beberapa
watu silam. Ya perempuan sialan itu telah menghancurkan segalanya.
“Ayah,
aku dan ibu masih mendoakan ayah agar ayah bisa segera keluar dari
tipu perempuan itu. Mimpiku Manis, tapi ujianku jauh lebih manis.”
*Diambil
dari buku “Ya Allah, Kenapa Aku Diuji” karangan Ibnu Qayyim
al-Jauziyah hal
41