Friday, May 30, 2014

Jumatulis #11 Bosan, Tindas, Tekanan, Bunuh, Tertawa ~

Rupanya perselingkuhan yang dilakukan istrinya telah membuat suaminya lupa darat. Arul, begitu nama suaminya, sudah tidak tahan lagi dengan tekanan yang diberikan oleh tetangga-tetangga rumahnya. Menurutnya, ia sudah melakukan yang terbaik sebagai suami. Ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan sang istri. Namun kali ini ia merasa ditindas. Sejak awal menikah, istrinya tak pernah menghargai apa yang telah Arul berikan untuknya. Ia sadar, pernikahan ini memang bukanlah keinginan mereka. Pernikahan ini hadir karena paksaan orang tua mereka. Awal menikah, ia masih mencoba untuk sabar menghadapi perlakuan istrinya. Namun, kali ini rasanya kesabaran baginya sudah tidah berlaku lagi. Ia bosan. Hingga suatu hari, disuatu kesempatan yang lain, saat ia melihat istrinya sedang bercinta, ia tak segan lagi untuk mengambil golok dan membunuh keduanya.
***
"Loh sya, kenapa dirobek-robek itu tugas lo? Tanya Ani yang tiba-tiba dari belakang mengejutkannya.
"Tulisan gue, Ni, kok kayanya bosen aja ya gue bacanya."
"Lah terus tugas lo gimana? Bentar lagi dikumpulin loh. Lo gak takut dihukum Pak Anton gara-gara gak ngumpulin tugas tulisan tentang rumah tangga yang gagal? ". Tanya Ani.
"Iya sih, tapi tulisan gue garing, Ni. Otak gue lagi gak on." Jawab Resya yang masih merobek tugasnya.
"Ya terserah lo sih, tapi lo liat, jam Pak Anton tinggal sepuluh menit lagi, mau kapan lagi lo ngerjain, yang ada lo gak boleh ikut UTS sama dia." Jelas Ani.
"Yassalam, kirain gue kelas dia masih sejam lagi, terus gimana nasib gue, Ni." Tukas Resya yang baru sadar, ternyata kelas Pak Anton hanya tinggal beberapa menit lagi. Resya kalang-kabut, ia cemas karena tugas kuliah kali ini digunakan sebagai syarat untuk mengikuti UTS. 

Friday, May 23, 2014

Jumatulis #10 Gunung, Kipas, Buku, Jalan, Kabut ~ Rasa

"Ini apa?" Tanyanya pada seorang pria yang duduk disebelahnya.
"Selamat mengulang hari, Dinar. Hari ini usiamu berkurang satu tahun." Jawab pria yang duduk disebelahnya.
Dinar diam. Ia tak menanggapi ucapan ulangtahun dari seorang pria yang disebelahnya. Matanya tetap tertuju pada danau yang ada didepannya. Namun lelaki itu tetap memandangi wajah Dinar sesekali. Udara gunung memang tak akan pernah bisa bersahabat dengan tubuh manusia, dinginnya membuat Dinar  dan lelaki itu melepaskan jaket yang menutupi tubuhnya.
"Aku balik ke tenda ya, kamu jangan lama-lama di disini, udara sangat dingin sudah berkabut juga. Kamu istirahat, nanti malam kita kan harus jalan, hati-hati ya". Lelaki itu bangun dari duduknya, sambil menepuk pundak Dinar, ia kemudian berlalu menuju tenda. Setelah lelaki itu pergi menuju tendanya, Dinar perlahan membuka kado yang baru saja diberikan. Setelah dibuka, isi dari kado itu adalah sebuah buku berjudul "Mahameru Bersamamu" dan sebuah kipas kertas yang sudah lama Dinar inginkan. Dinar kemudian membolak-balik buku tersebut, ia menemukan sebuah catatan dari lelaki itu.

"Selamat mengulang hari Dinar. Selamat berkurang usia. Maaf aku hanya memberimu sebuah buku dan kipas, namun taukah kamu aku memiliki harapan besar dari pemberianku kali ini. Kamu tau, aku tak lagi benar-benar bisa menyimpan perasaanku padamu setelah bertahun-tahun aku menyembunyikannya darimu. Aku ingin seperti cerita dalam buku itu, Nar".


"Rud, kau lelaki baik, aku tak mungkin memungkiri itu setelah kita bertahun-tahun berteman. Namun, kau perlu tau, aku tak punya gairah sana sekali saat aku bersama lelaki."

Friday, May 16, 2014

Jumatulis #9 Stoples, Ransel, Jembatan, Foto, Kayu


                                                    Stoples Itu Bernama Kita

Aku memandangi kembali foto yang ada ditanganku ini. Tak habis pikir dalam benakku bagaimana kita bisa bertemu kembali setelah belasan tahun kita terpisah. Kamu lihat bagaimana kamu dalam gambaran tersebut? Kamu ingat pada usia berapa kita mengabadikan momen seperti itu? Dan setelah perpisahan waktu itu, setelah jarak yang menjadi penghalang kita bertemu, setelah ruang yang menjadi hambatan untuk menghabiskan waktu bermain kita, hari ini, rinduku, rindumu, rindu kita telah sempurna melebur, telah lunas, hutang telah terbayar.

Aku masih memandangi kamu dari kejauhan, dan gayamu sekarang persis seperti apa yang kamu cita-citakan sejak kecil, seperti anak gunung. Tas ransel dan sandal khas gunung yang kau kenakan itulah yang menceritakan padaku seperti apa gayamu sekarang.  

Aku masih memandangimu dari kejauhan, memandangi kamu dan teman kecil kita yang lain melepas rindu di ujung jembatan kayu di taman ini, jembatan yang sudah runtuh kekuatannya karena lapuk dimakan usia. Ya bagaimana tidak lapuk, usianya saja bahkan belasan tahun lebih tua dari kita, dan jembatan itu tak pernah kami rawat lagi sejak kamu pergi meninggalkan kami.

“Woy Lia sini lu, ngapain diri sendiri disitu”. Aku tertawa kecil saat ku mendengar teriakanmu itu, rupanya julukan “Si Kompor Meleduk” enggan berpindah darimu. Lalu kau mengulanginya sekali lagi, sambil memamerkan stoples bening berisikan kertas origami, yang aku dan teman lain berikan saat kamu pindah ke kota yang jauh. Ah, aku tak menyangka kamu masih menyimpan dengan baik stoples yang tujuh belas tahun lalu itu, kita beri nama  “Kita”

Friday, May 9, 2014

#Jumatulis8 Manis, Cookies, Cupcake, Lollipop, Ice Cream -Semanis Mimpi, Semanis Ujian

Februari 2008

Dengan menggunakan kaos lengan pendek dan celana jeans abu-abu, aku membuka kedai kecil yang baru saja kurilis. Berhenti bekerja sebagai seorang akuntan, dan kini aku mencoba mengadu nasibku melalui kedai ini. Usahaku ini tak jauh-jauh dari hobiku yang suka dengan makanan yang manis. Ya, isi dari kedaiku ini bukanlah restoran yang menyediakan makanan berat, bukan nasi, bukan soto, bukan empal gentong, bukan pula restoran yang selalu menyediakan sayur asam yang panas dengan nasi yang masih hangat dan dikelilingi ikan asin serta sambal terasi. Tapi isi kedaiku ini lebih kepada makanan camilan yang terdiri dari jenis cookies, cupcakes, lollipop serta ice cream.

Selain karena hobiku yang suka dengan makanan manis, ada maksud lain kenapa aku menjual makanan manis, ya aku hanya berharap agar segala urusanku, termasuk usaha, keluarga, pertemanan dan termasuk urusan jodoh agar selalu berjalan manis, seperti makanan-makanan yang ku jual di kedai.

Juli 2011
Sina, aku mengenalnya saat pembukaan kedai pertama kali lewat seorang teman dan kamipun menjadi sangat dekat sejak saat itu dan tak lama kemudian aku menaruh rasa padanya, aku berniat untuk menikahinya. Sejak awal pertemuannya, ibu tidak setuju. Aku selalu membatah perkataan ibu jika ia sedang menasihatiku agar berhati-hati dengan Sina. Namun apa yang dikatakan ibu benar adanya. Aku masih ingat benar bagaimana ia bisa berselingkuh dengan ayah, bagaimana ia bisa menghabiskan uang hasil jerih payahku dan membuat kedaiku berhutang sana-sini sampai akhirnya harus tutup.

Dari sinilah kutemui semua kekacauanku. Semua yang kuharapkan saat aku membuka kedai kecil itu tak berjalan. Keluargaku terpecah belah, usahaku bangkrut karena harus membayar hutang sana-sini, jodoh? Ah itu semua gara-gara perempuan sialan itu. Dia telah membuatku hampir masuk bui karena tak sanggup membayar hutang, dia pula yang hampir membuatku jadi daftar pasien di Rumah Sakit Sumber Waras, bahkan dia pula yang hampir membuatku masuk neraka karena hampir gantung diri.

Namun selama aku dilanda keterpurukan, ibu tak pernah meninggalkanku sedikitpun, padahal dahulu aku sempat mengusirnya karena selalu menyuruhku untuk berhati-hati dengan Sina.

Sabarlah sayang, kita sedang berada pada titik terlemah kita, maka dari itu ujian datang pada kita dan Allah ingin kita berubah. Allah hanya ingin lihat seberapa mampu kita bisa bertahan, suatu saat Allah akan memberikan pertolongan pada kita. Jika sampai saat ibu mengecup keningmu malam ini dan Allah belum kasih kita pertolongan, tandanya kita berdua masih bisa melewati itu semua. Masalah kita memang besar, tapi percayalah pertolongan Allah lebih besar.” Ah ibu, selalu kau ucapkan kata-kata itu sebelum aku tertidur, darimulah kini aku kembali pada kewarasanku.

Bukit Hijau, May, 2013

Bersama wanita yang sejak dulu kukagumi sifatnya, aku menghirup udara bebas yang sudah dua tahun ini membelenggu. Pada detik ini, aku menyaksikan kembali bahwa aku masih pantas untuk berdiri di bukit ini, merasakan bagaimana angin menyentuh tubuhku secara halus, mendengarkan bagaimana acak-acakannya suara burung yang kembali kesangkarnya. Padu padan suara dari beberapa burung itu menggantikan nada-nada dari radio bututku.

Ibu sungguh bahagia melihat putra ibu telah kembali.” Suara yang tiba-tiba hadir terdengar ditelingaku serta tangan yang sangat lembut usapannya menyentuh kepalaku mengagetkanku, “ibuu, sejak kapan ada dibelakangku?”. Tanyaku pada wanita paruh baya itu.

Hanya orang-orang yang beriman yang yakin pada Tuhannya, bahwa Tuhannya tak akan meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan terendah sekalipun. *Seperti apapun kesulitan itu pasti akan diganti dengan kemudahan. Sebab jika tidak, hal itu akan mengurangi nilai kekuasaan Yang Mahakuasa, bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Yang Mahakuasa, dan berlawanan dengan kehendak Yang Maha Mengetahui*.” Suaranya kembali mendamaikan kejiwaanku lagi. Kasih sayangnya yang tersampaikan melalui kecupannya pada keningku membuatku merasa jauh lebih nyaman dibanding kecupan wanita sialan yang kutemui beberapa watu silam. Ya perempuan sialan itu telah menghancurkan segalanya.

Ayah, aku dan ibu masih mendoakan ayah agar ayah bisa segera keluar dari tipu perempuan itu. Mimpiku Manis, tapi ujianku jauh lebih manis.”


*Diambil dari buku “Ya Allah, Kenapa Aku Diuji” karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah hal 41

Saturday, May 3, 2014

Sang Penjemput



Jika kau merasa khawatir tak ada lagi yang menjemputmu pulang
Jika kau merasa takut karena kau harus menunggu penjemput
Ingatlah aku, putriku
Semampuku ku akan menjemputmu
Semampuku ku akan tepati waktuku
Aku tak akan membiarkanmu menghabiskan waktu untuk menungguku
Takkan kubiarkan bisikan angin menyentuhmu
Takkan kubiarkan rasa penat itu menguasai hatimu
Takkan kubiarkan kau berjalan sendiri tanpaku
Dan satu hal yang ingin selalu kujaga
Rasa kecewamu pada sikap ayah yang tak mampu menjagamu
Aku kan tetap menjadi penjeputmu
Sampai kau benar-benar menemukan penjemput yang lain, lalu aku tak kau butuhkan lagi :)

Ayah

Friday, May 2, 2014

Jumatulis #7 Kubur ~ Fajar ~ Khotbah ~ Gema ~ Dara > Sebuah Suara


Pada sebagian fajar yang belum habis masanya
Pada sebagian khotbah yang menggema dari sudut surau 
Pada rupa yang berdiri tegak
Nisan itu menjadi saksi atas suara yang meraung dari kubur seorang dara yang mati tadi pagi