Friday, June 13, 2014

Jumatulis #13 Senja, Ikan, Diversifikasi, Terumbu, Rumput Laut - Ceu Inah

Langit merona wajahnya saat kuletakkan kedua kakiku di bibir pantai ini. Pun begitu dengan perempuan yang ada disampingku senja ini. Aku memeluk erat jemarinya seakan aku tak ingin terlepas darinya. Nyiur melambai-lambai, menari-nari menghasilkan suara yang romantis disenja hari ini. Ada yang tak biasa darinya, sungguh perempuan disampingku sangat memikat penglihatanku hari ini, membuat mataku tak ingin lepas memandanginya, membuat mulutku tak habis memuji, menyebut-nyebut nama Tuhanku atas karunia-Nya yang ia berikan pada perempuan ini. Cantik. Sungguh, ia sangat cantik, sangat berbeda dari yang biasa aku lihat di warung nasi bakar hasil diversifikasi ikan kembungnya. Kebaya yang biasa menutupi tubuhnya, yang membuat ia terlihat seperti perempuan tahun 50-an, dengan dress merah muda yang menutupi tubuhnya hingga lutut membuat ia seperti wanita pada zamannya. Ia nampak seperti gadis-gadis lain yang kulihat disekelilingku. Rambut yang biasanya selalu terikat mengumpul dibagian belakang kini terurai. Rambutnya panjang hingga pinggulnya, ikal, hitam dan sangat lebat. Sesekali angin membawa beberapa helainya menyentuh wajahku. Kulamat-lamat dengan perlahan wajah yang biasanya terhias dengan keringat sehabis membakar nasi bakar ikan diversifikasinya kini tertata rapi dengan polesan bedak tipis dan sentuhan pewarna bibir yang membuatnya menjadi nampak lebih manis. Lesung pipitnya saat ia melengkungkan bibirnya membuatku tak bosan untuk memandangnya. Seperti ikan yang menjadikan terumbu karang tempat hidupnya, seperti aku yang menjadikanmu tempat terakhir dalam hidupku. "Inah, ke tenda sana yuk, di sana katanya ada es rumput laut yang enak". Ajakku pada Inah yang membuyarkan lamunannya. "Hayu, Kang" jawabnya. Aku dan perempuan disampingku berjalan menuju tenda yang menjual es rumput laut itu sambil menyanyikan lagu "Kemesraan". Ya Tuhan, andai aku benar-benar bisa menikmati sisa hidupku bersama dia pastilah ku akan bahagia.
*___
"Kang Anto, Kang". Inah melambaikan tangannya bermaksud untuk menyadarkanku dari lamunan siang bolongku.
"Ngg. . Inah." Jawabku yang terkejut karena kedatangan Inah.
"Jangan ngelamun siang bolong, Kang, nanti kesambet setan laut baru tau rasa. Ini kopi hitamnya, ini nasi bakar pedanya." Ucap Inah sambil memberikan segelas kopi hitam dan nasi bakar peda pesananku.
"Makasih, Inah". Ucapku pada Inah yang sudah berlalu ke dapur."Ya Tuhan, ternyata tadi cuma khayalan". :))

Friday, June 6, 2014

Jumatulis #12 Panen, Lumpur, Burung, Kemarau, Keringat ~ Gedung Tinggi ≠ Gaji Tinggi

Senja seperti ingin menampakkan diri. Langit kota Jakarta kala itu sangat cerah. Waktu menunjukkan pukul 16.45, itu tandanya lima belas menit lagi jamnya orang-orang kantor pulang. Ujang masih melepas penatnya, keringatnya masih bercucuran dari ujung kepalanya menuju wajahnya yang nampak lebih tua dua tahun dari usianya. Napasnya masih tersengal-sengal karena habis membersihkan perkarangan gedung kantor dari lumpur setelah beberapa hari yang lalu terkena banjir. Ujang menengadahkan kepalanya keatas langit, terlihatnya beberapa burung yang terbang, mungkin ia ingin pulang ke rumahnya pikirnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke minuman yang telah ada disampingnya sejak ia selesai membersihkan perkarangan gedung kantor. “Burung saja selalu pulang kala sore hari, lah aku?”. Ia baru teringat, sudah tiga kali panen, sudah tiga kali kemarau pula ia belum pulang kampung. Itu tandanya sudah tiga kali lebaran Ujang merayakannya seorang diri.

__*

Sambil asyik menyeruput minumannya, telepon genggamnya berdering, ia lalu mengambil handphonenya, dan ternyata yang menelponnya adalah nomor dari kampung, ibunya.
Halo, Assalammualaikum, punten ini teh bener nomor Ujang, anak emak yang di Jakarta tea?” Sapa orang yang berada pada ujung salauran telepon tersebut.
Halo, Waalaikumsalam, iya  mak, ini Ujang anak emak yang kerja di Jakarta tea.” Sahut Ujang.
“Alhamdulillah teu salah sambung, Ujang kumaha? Damang maneh di Jakarta?.” Tanya ibunya.
Iya mak, Alhamdulillah Ujang baik dan sehat, emak kumaha? Damang henteu?”. Timpal Ujang
“Alhamdulillah emak damang Ujang, Ujang, kamu kapan balik ka imah? Sudah tilu taun kamu teu pulang. Kamu teu kangen ka emak?.”
“Iya mak, nanti kalo sudah ada rezeki, Insyaallah Ujang pulang. Ujang juga sudah kangen sama emak.”
“Eleuh-eleuh Ujang, kamu teh kumaha ih, setiap emak tanya kapan kamu pulang, selalu weh jawabnya kitu, selalu nunggu kalo ada rezeki. Eh Ujang, kerjamu kan di Jakarta di gedung-gedung tinggi, masa iya kamu teu bisa barang sekali pulang ke imah.” Ujang terpaksa agak sedikit menjauhkan teleponnya dari telinga, karena ia tahu emaknya sangat mengiinginkan lebaran kali ini ia pulang. “Duh emak, bukan gitu. Ujang juga teh udah pengen banget pulang. Ujang juga udah kangen suasana lebaran di kampung, kangen sama ketupat buatan mak, opor emak. Ujang juga udah kangen berat sama si Juki, sapi yang Ujang rawat tea dari kecil. Tapi mau bagaimana lagi mak, kalo Ujang pulang saat lebaran, Ujang teu bisa kirim uang ka mak.” Ujang meneruskan. “Mak, Ujang teh cuma cleaning service disini alias pembantu lah kasarnya, tukang bersih-bersih gitu. Jadi, meskipun Ujang kerja di gedung-gedung tinggi, bukan berarti Ujang akan selalu dapet penghasilan tinggi juga. Biaya hidup disini teh mahal banget mak, jadi penghasilan Ujang ya abis buat Ujang biaya hidup disini sama ngirim ka emak.” Ujang sebenarnya sudah bosan menjelaskan ke emaknya kenapa sudah tiga kali lebaran ini ia tidak pernah pulang. Sebenarnya bisa saja ia pulang, hanya saja gaji yang diterimanya habis untuk ia kirim ke emak untuk melunasi hutang-hutang bapak waktu sakit.
“Yasudahlah tos kitu mah, mau bagaimana lagi, toh emak juga teu bisa ke Jakarta buat bawa pulang kamu ke rumah. Jang, lamun utang-utang bapak lunas, kamu balik lagi aja ka kampung, kamu tinggal disini saja, temani emak.”
“Iya mak, nanti kalau utang bapak lunas, Ujang akan pulang dan akan temani emak sampe kapan pun. Yasudah, sudah dulu ya mak, ujang mau pulang, sudah jamnya Ujang balik ke kontrakan. Nanti malam, Ujang telepon lagi ke emak. ”
“yasudah, hati-hati kamu pulangnya, jangan lupa makan juga solat. Emak pamit ya, Assalammualaikum.”
Waalaikumsalam, mak.” Ujang lalu menutup hpnya. Ia bergegas ke ruangannya dan bersiap-siap untuk kembali ke kontrakannya. Hari ini ia sangat ingin cepat-cepat sampai kontrakannya. Badannya sudah terlalu lelah setelah seharian membereskan perkarangan kantor yang penuh dengan lumpur. 

Langit semakin menggeliyat menampakan rona merahnya. Senja seperti malu-malu tampil diantara barisan gedung-gedung tinggi. Angin yang berhembus mengantarkan Ujang menaiki bis kota menuju tempat peristirahatannya.

___* 

 “Bagiku, kebahagiaan bukanlah seberapa tinggi aku kerja di sebuah gedung, bukan seberapa tinggi gaji yang aku terima setiap bulannya. Aku tak muna, siapapun pasti ingin gaji tinggi agar bisa memenuhi semua keinginannya, begitupun aku. Namun bagiku kebahagian adalah bagaimana aku bisa kembali pulang ke kampung, hidup bersama emak,dan  membahagiakan ia dimasa tuanya, selalu hadir disaat dia kelelahan, selalu ada disaat dia butuh orang untuk menguatkannya. Tapi ada satu hal yang sangat aku tunggu kebahagian itu, kebahagian yang sangat aku harapkan, yaitu hidup bersama Mirna, perempuan yang sejak lulus SMA sudah sangat kucintai perangainya, yang sejak SMA sudah kuniatkan untuk kujadikan istri. Karena tak melulu orang yang berada pada gedung tinggi selalu luput dari kesusahan, semua sama.  Allah, ijinkanlah aku meraih kebahagianku.”

Thursday, June 5, 2014

Review Kumcer Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali - Puthut EA

Judul               : Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (Kumpulan Cerita Pendek)
Penulis            : Puthut EA
Penerbit          : INSISTPress
ISBN                : 978-602-8384-20-9
Cetakan           : Cetakan Pertama, Maret 2009


Ini adalah buku kedua dari Puthut EA yang saya punya setelah sebelumnya Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Buku ini terdiri dari lima belas kumpulan cerita pendek karya Puthut EA. Buku ini sangat berbeda ceritanya dari buku yang sebelumnya telah saya punya. Buku ini menurut saya lebih banyak ke sifat sosialnya. Saya tak akan menjelaskan satu per satu tentang kelima belas cerpen ini, karena takut spoiler J. Jadi saya akan menceritakan beberapa cerpen yang sangat saya suka, cerpen yang menyebalkan karena php dan yang saya tidak suka karena saya tidak nyambung dengan cerita didalamnya J. Berikut kelima belas cerpennya :

11.      Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
22.      Kawan Kecil
33.      Obrolan sederhana
44.      Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar
55.       Doa yang menakutkan
66.       Di  Sini Dingin Sekali
77.       Sambal Keluarga
88.       Dongen Gelap
99.       Anak-Anak yang Terampas
110.   Retakan Kisah
111.   Koh Su
112.   Ibu Tahu Rahasiaku’
113.   Rumah Kosong
114.   Bunga Pepaya
115.   Berburu Beruang
Dari kelima belas cerpennya Puthut EA, yang paling saya suka adalah cerpen Retakan Kisah. Kenapa? Karena didalam cerita ini, emosi saya terpancing. Cerpen ini mengisahkan tentang tiga orang anak muda yang sedang mewancarai seorang wanita yang semasa mudanya pernah mengalami kekerasan yang amat menyedihkan dari tentara-tentara. Bukan hanya saja fisik yang disiksa, tapi wanita ini juga mendapatkan kekerasan seksual yang menurut saya itu menyeramkan. Dalam cerita ini dijelaskan bagaimana si wanita ini mengalami kekerasan seksual, meskipun hanya beberapa kejadian kekerasan seksual, namun ceritanya cukup membuat saya ‘ngeri’membacanya. Selain Retakan Kisah, ada juga cerpen yang saya suka, judulnya Doa yang Menakutkan. Dalam cerita ini menceritakan seorang anak yang sangat takut dan trauma karena ia menyaksikan bagaimana perang antar umat beragama itu terjadi. 
Memburu Beruang adalah cerpen terakhir dari buku ini. Nah inilah cerpen yang saya menyebalkan buat saya, karena akhir ceritanya seperti diPHP. Dari awal cerita, saya sudah larut dan serius membaca ceritanya dan sempat berpikir “emang beruang boleh diburu?”. Namun pada saat akhir cerita, beruang itu ternyata hanya. . . pohon pisang J
Dan cerpen yang tidak nyambung buat saya adalah yang Rahasia Telinga Seorang Sastrawan. Cerita ini menjelaskan tentang seorang sastrawan besar yang jika sedang diwawancarai, ia selalu bilang “maaf, aku tidak bisa mendengar suaramu dengan baik. Berkatalah yang keras! Telingaku pernah dipopor tentara.”  
Kelebihan: Puthut sangat pandai dalam menyampaikan cerita-ceritanya, sehingga membuat saya betah berlama-lama membaca buku ini.
Kekurangan: Lepas dari cerita yang tidak saya mengerti, karena keasyikan saya tidak memperhatikan ada typo atau tidak dalam penulisannya.