Sunday, March 15, 2015

Ibu

Demi bumi yang kehausan akan cahaya di pagi hari
Matahari datang sedari tadi
Menyinari setiap pelosok bumi
Memenuhi tanggung jawabnya terhadap bumi

Hanya karena seorang anak
Sang ibu bangun sejak pagi buta
Meski matanya tak ingin membuka
Tapi ia tetap memaksa
Demi cintanya pada sang anak

Ibu layaknya matahari yang keikhlasannya sama-sama tak terperi

Sate Ayam

Sebab bukan sate ayam lagi yang dia butuh disetiap tanggal dua puluh delapan
Sebab bukan kwetiau goreng manis lagi yang dia inginkan untuk memenuhi keperluan perutnya yang lapar
Sebab hanya doa yang dia harapkan dari ketiga buah hatinya
Doa yang kan membuat dirinya merasa lapang walau hanya dalam wadah dua kali satu meter
Doa yang kan membuat dirinya merasa tidak perlu takut walau gelap adalah penerangnya
Doa yang kan membuat dirinya selalu nyaman berada di sisi Tuhannya

Aku telah menjemput rinduku hari ini
Rindu yang telah dia buat dua puluh tujuh hari silam
Lalu dia membuat rindu itu lagi selepas bait doa terakhir ku lantunkan~~

17 November 2014

Senin Malam

Mari sini, sayang
Duduklah dengan mania disampingku
Sebab malam telah tiba dan polusi cahaya telah bertebaran

Ini Senin malam menjelang Selasa, sayang
Mari kita habiskan cerita tentang sabar yang katanya tak punya kiamatnya
Sebab hari ini aku telah sampai pada titik terjenuh sabar yang menunggu

2 Maret 2015, #SeninBerpuisi ~ Klub Buku Tangerang

Tuesday, March 10, 2015

Cokelat Sebelas Bar

Begitulah ia mengajariku berbagi. Sebab katanya berbagi tak baik hanya dimiliki seorang diri. 

Dua tahun yang lalu aku mengenalinya sebagai pegawai kontrak baru di tempat kerjaku. Tubuhnya mungil dengan muka yang sepertinya berdusta pada usia yang dikabarkannya. Ia tersenyum sambil mengenalkan namanya padaku. Aku menjabat tangannya. Tuhan, perempuan ini lembut sekali, pikirku. Ia mengenakan kemeja merah muda dengan celana panjang dan kerudung motif bunga-bunga menutupi kepalanya.

Seminggu setelah perkenalannya, fakta berkata lain pada penglihatan pertamaku. Kupikir ia adalah perempuan yang pendiam, nyatanya tidak, ia adalah perempuan yang sangat riang. Tingkah lakunya yang seperti kanak-kanak justru membuat penat kami selama bekerja hilang.

Sebulan setelah perkenalannya,  aku baru tahu ternyata ia suka sekali dengan cokelat. "Cokelat sebelas bar" begitulah yang dikatakannya padaku. Selain sifat dia yang baik pada semua orang, ia juga terkenal sebagai pemalak cokelat.

Ia selalu meminta tagihan berupa "cokelat sebelas bar" pada setiap orang yang butuh padanya, seperti; minta data pekerjaannya. Anehnya, orang-orang yang dimintai cokelat itu selalu memberikannya bahkan tanpa diminta.

Satu hal yang ku kagumi darinya, setiap ia mendapatkan cokelat hasil "palakannya" itu, ia selalu membagikan cokelat itu kepada teman-temanya masing-masing satu bar, bahkan tak jarang ia tidak kebagian cokelat hasil "palakan"nya itu. Aku pernah menanyakan padanya, kenapa tak dia nikmati sendiri saja cokelat itu. Ia cuma bilang "namanya juga rezeki, masa mau dinikmati sendiri, bukannya Tuhan juga memberikan kita rezeki lewat tangan-tangan mereka? Mungkin bukan lewat materi, tapi lewat kesediaan mereka menjadi temanku, lagian bahagia gak baik untuk dihabiskan sendiri, bukan? ".

"Cokelat itu asalnya pahit. Tapi sedikit saja dia diramu, dia bisa mengobati rasa sedih kita." Begitulah katanya sambil memberikan beberapa potong bar cokelat pada saat ku dilanda masalag.

Dan itulah dia, perempuan cokelat sebelas bar. Tak hanya sekedar berbagi yang bisa kupelajari dari cokelatnya, namun banyak hal.

-------

"Segeralah membaik perempuan cokelat sebelas barku, setelah sadar nanti akan kubelikan untukmu cokelat lebih dari sebelas bar"


Sunday, March 8, 2015

Lampu Remang Bis Antar Kota

Yaaaa. . Aku pulang dengan langkah sedikit lemas dan beberapa potong rasa kecewa. Lemas karena bagian kaki kiriku sakit sejak beberapa hari, dan beberapa potong rasa kecewa seperti; libur hari Jum'at yang hanya tinggal angan-angan dan bis yang sudah ditunggu sejak sejam yang lalu yang belum tiba jua. Langit tak ada jingganya. Ia menampakkan muramnya dengan menunjukkan mukanya yang berwarna abu-abu (yang sesungguhnya aku tak tau pasti warnanya apa). Aku melirik jam lagi. Sudah maghrib rupanya. Aku bergegas bangun dari tempat dudukku di pinggir jalan, berjalan pelan melewati pom bensin dan sebuah mini market. Aku membelokkan langkahku kearah kanan, kudapati mushala yang sudah penuh dengan kawanan laki-laki. Akupun sembahyang.

~~~

Lebih dari sepuluh menit aku menanti kedatangannya, bis maksudku. Sambil mengisi kekosongan waktu aku berbicara dengan perempuan di sebelahku yang sama-sama menunggu. Ah yaa. . perihal menunggu itu memang tak selalu menyenangkan bukan? Seperti aku yang menunggu kapan kepastian itu datang dari dirimu, Tuan?

Bispun tiba. Aku bersyukur, sebab kudapati ia dengan banyak kesempatan untuk duduk. Aku meninggalkan perempuan itu sendirian. Ia masih menunggu teman, katanya. Ya dan sekali lagi menunggu itu mematikan mood yang baik. Aku duduk di barisan kelima dari depan dengan kursi yang berjajar tiga. Perlahan lalu aku kembali menjamah badan buku yang seharusnya sebentar lagi selesai kusentuh. Aku membayar tarif pulang pada kernet yang ramah itu. Ah ya sudah tiga hari berturut-turut aku menaiki bisnya. Bahkan pada hari pertama itu aku menaiki bisnya berangkat dan pulang kerja. Aku masih menikmati bacaanku, sampai tiba aku membalas pesan WAku dan kudapati lampu bis yang mati. Sebuah lampu berukuran watt yang lebih kecil dan berwarna kuning dinyalakan . .


Aku masih menikmati gelap yang tak sepenuhya dari dalam bis ini. Sebab bias cahaya kota mampu menjadi tambahan cahaya remang bagi orang-orang di dalamnya. Kupikir dengan supir bus mematikan lampunya, penghuninya akan 'mati' juga dalam beberapa saat, nyatanya tidak. Ada yang sebagian mengobrol dengan teman sebelahnya dengan suara yang lantang, dan ada sebagian lain, lebih tepatnya di depanku dua orang ibu-ibu yang sibuk membicarakan bis yang semakin jarang, bis yang semakin telat datangnya, kemacetan dan perihal yang tak bisa izin kerja.

Dua lelaki disebelah kanan dan kiriku telah sampai pada titik nyaman mereka, aku melirik keduanya, tak lama kemudian,  lampu remang bis kota ini mampu menjadi nina boboku untuk waktu yang sangat tanggung ~~

Jakarta, 24 Desember 2014 

Lelaki yang Pergi dengan Sepeda

Aku mendapati diri dalam keadaan mata yang menggenang. Aku bertemu (lagi) dengan lelaki itu dalam mimpi. Ia mengenakan kaos bola dengan paduan warna orange dan hitam, berlogokan angka 9 pada bagian punggungnya. Ia mengenakan celana pendek sedengkul berwana cokelat muda.  Terlihat sangat jelas bagaimana mimpi itu menggambarkan sosoknya; senyumnya yang kempot akibat beberapa gigi depannya yang telah tanggal, legam warna kulitnya, dan sebaris kelelahan yang tergambar garis kerut wajahnya. Lelaki itu tersenyum persis seperti saat kulihat untuk yang terakhirnya. Saat aku bertanya "mau kemana" ia hanya tersenyum lalu mengambil sepeda tuanya yang saat ini masih bertengger manis dirumah lalu ia pergi tanpa mengacuhkanku yang ingin dibonceng di jok belakangnya.

 Source
"Teh bangun, jam enam". Suara ibu terdengar dari dapur, membangunkanku. Aku baru sadar, pukul setengah empat dini hari tadi, aku menangis, mengadu pada Tuhanku untuk menyampaikan rindu pada lelaki yang hadir dalam mimpi. Aku bergegas membenahi muka lalu melangkah ke dapur "bu, tadi lia ketemu ayah lagi".

Tangerang, 12 Februari 2015

Donat-Donat yang Sisa

Jingga saat itu sedang tidak menduduki singgasananya pada senja. Namun hujan tak kunjung datang mendampingi langit yang kelabu juga serentetan petir yang datang sesekali.

Gadis kecil itu berjalan dengan tenaganya yang sisa-sisa. Ia telah kalah pada donat-donat yang masih tersisa di tetampahnya. "Aku lelah, Tuhan. Aku telah menghabiskan separuh waktuku dengan menjajakan donat ini, namun hanya sedikit yang berhasil kujajakan. Tuhan tidakkah Kau lihat, aku lelah."

"Assalammualaikum". Gadis kecil itu masuk ke gubuknya. Ia pergi ke dapur tempat ibunya membuat donat.

"Bu, mengapa Allah tak memberikan rezeki pada kita hari ini? Tidakkah Dia lihat aku telah bersusah payah menjajakan donat ini?"

Sambil mematikan tungku dihadapannya, sang ibu menimpali pertanyaan anaknya, "Sayang, apakah rezeki itu hanya berlaku pada habisnya donat-donat yang ada pada tetampahmu? Kamu bisa kembali pulang dengan selamat saja, itu adalah rezeki yang jauh lebih bernilai daripada donat yang berhasil kamu jajakan."

Ibu mengajak gadis kecil itu ke ruang tengah. "Yuk makan, pasti kamu laper banget udah berjalan jauh". Gadis kecil itupun mengikuti ibunya sambil membawa dua buah piring, dua buah sendok, dan dua buah gelas.

"Bu kenapa Allah menyuruh kita hidup dengan penuh ujian? Apa Allah tak sayang lagi pada kita? Kita tak ada rumah yang layak, rezeki kita pun seret, kadang makan, kadang enggak."

Ibu hanya tersenyum melihat polah gadis kecilnya. "Sudah besar rupanya kamu. Okeh sederhana saja ya, kamu tau cara membuat nasi ini bagaimana?" Tanyanya pada gadis kecil itu. Gadis kecil itu lalu menjelaskan bagaimana proses dari benih, padi, beras hingga menjadi nasi.

"Hidup itu sebuah proses,nikmatilah prosesnya, bersyukurlah. Ujian tak hanya dirasakan pada kita yang miskin. Kamu beranggapan orang kaya tak lagi merasakan ujian, itu hanya karena kamu tidak menggunakan matamu untuk melihatnya. Ujian telah Allah ukur pada masing-masing ciptaan-Nya, tinggal bagaimana kita menanggapi ujian itu.

Wednesday, March 4, 2015

Perempuan "Keluar Tol" yang Mengejar Waktu





Sebab Waktu Tak Berlari Dibelakangmu

Sepasang jarum jam dengan asik bermain kejar-kejaran pada orbitnya. Si jarum pendek tengah asik bertengger pada angka tujuh, sedang si jarum panjang masih terus berlari mengejar jarum pendek. "Tujuh lewat lima belas" gumamnya dalam hati, "bisnya belum datang juga". Perempuan itu sudah gelisah, ia tak lagi bisa berdiri dengan tenang. Putar badan ke kanan, putar badan ke kiri, membaca buku, melihat handphonenya. "Ya Allah besok-besok mah berangkat jam tujuh kurang lima belas aja biar nunggunya gak kelamaan" keluhnya dalam hati.

Hari-hari sebelumnya, bis yang mengantarnya kerja selalu hadir tepat waktu, hampir jarang ia dijemput dalam keadaan telat. Namun beberapa bulan terakhir semenjak pengurangan armadanya, bis ini mulai mengingkari perempuan itu. Jamnya tak lagi teratur dan jika sedang sial, saat bis itu datang ia mendapati keadaannya sudah sesak, alias penuh, tak jarang si perempuan berdiri hingga perempuan itu mengakhiri perjalanannya. Kursi yang ia harapkan sebagai pengganti kasur sementara tinggal angan-angan yang berlalu saja.

***
Bis itu akhirnya datang setelah si jarum panjang dan pendek tengah pada posisi angka delapan. Perempuan itu naik dan seperti yang sudah ia duga, kursi-kursi bis itu sudah memiliki tuannya masing-masing, bahkan tempat duduk kernet pun telah terisi. Atas suruhan sang kernet, perempuan itu menuju ke bokong bis, mencari posisi yang nyaman untuk berdiri. Perempuan itu berdiri pada barisan ketiga dari belakang, ia menyenderkan sebagian punggungnya ke pinggiran kursi. Ia mengambil bahan bacaannya dari dalan tas, lalu menaruh tasnya ke tempat tas yang letaknya tepat diatas kursi yang berjajar dua.

Bispun melaju ~~

***
Bisakah saya untuk turun dan mengejar waktu yang berlari lebih dahulu didepan saya agar saya tak terengah-engah untuk mengejar jejaknya?

Bis yang mengantar perempuan itu telah sampai di jalur keluar tol Fatmawati dan Pondok Labu. Ya sudah menjadi rutinitas biasa, orang yang bekerja daerah Fatmawati dan sekitarnya akan turun sebelum bis itu keluar tol, pun begitu dengan perempuan itu. Jalanan yang macet dijam-jam keberangkatan kerja membuat orang lebih memilih turun di tol, lalu berjalan kaki. Ia lirik lagi jamnya, dua jarum jam itu memberitahunya sekarang telah sampai pada pukul sembilan. Masih ada seperempat jalan lagi untuk sampai pada jalur yang memisahkan keluar tol Fatmawati - Pondok Labu dengan Mampang - Rambutan. Perempuan itu sudah bersiap untu turun, ia telah mengambil kembali tasnya dari tempatnya. Ia berjalan menelusuri lorong bis menuju pintu depannya. Dengan senyum dan keramahannya, si kernet nempersilahkan perempuan itu turun.

Perempuan itu berjalan cepat, ia berharap ia dapat mengejar waktu yang telah lama berlari didepannya.