Saturday, April 25, 2015

Senja yang Mengeluh


"Aku sudah datang, sudah waktunya kamu harus pulang. Kamu gak ingin pulang?" Tutur senja yang menyambut kedatanganku di gedung yang harus kukunjungi untuk keperluan rapat sore ini. 

"Mau lah, aku ingin beristirahat pun, kalau bukan karena tuntutan sebagai pegawai, mungkin aku sudah beranjakkan kakiku dari tempat ini. Pintu rumah sudah siap menanti kedatanganku bukan? Pun dengan segala isi didalamnya; kasur, guling, perkumpulan nasi, lauk pauknya, teh manis hangat, termasuk ibu." Tukasku sambil berjalan menuju gedung rapat.

"Kau tak lagi rindu padaku ya?? Kau tak lagi ingin memuji keindahanku di setiap kali aku datang untuk mengantarkanmu kembali ke ibumu? Kau tak lagi ada hasrat untuk mengambil pose tubuhku melalui telepon genggammu itu ya?"

"Tak seperti itu senja, ini harus kulakukan. Kau harus tau, sungguh aku sangat-sangat rindu terhadapmu. Sangat ingin melihatmu lagi lamat-lamat dengan kedua mataku. Sangat ingin lagi aku mengambil posemu yang cantik itu lalu ku abadikan untuk sekedar ku bagikan lewat beberapa akun media sosial atau hanya sekedar ku nikmati sendiri".  

"Kau bahkan sekarang lebih memilih berbagi waktu dengan malam yang lebih larut, bahkan kau lebih sering membagi kisah laramu terhadapnya ketimbang kau saat bersamaku. Kau lebih sering memujiku daripada kau membagi laramu. Lantas, aku ini hanya bentuk dari pesona yang indah saja? Lantas, tak pantaskah aku pula untuk mendengar laramu??" 

Lalu senja berubah menjadi awan yang keabu-abuan. Angin mulai menggoyangkan pakaianku, termasuk tubuhku yang sudah lelah. Senjapun menangis. Air matanya lalu turun, perlahan tapi pas menyentuh di kedua mataku. Sejenak aku kembali berpikir "kapan terakhir kali aku pulang pada senja?? Ah ya itu dua bulan yang lalu, selebihnya aku memang berdua pada pukul 8 hingga 11". 

Lantas aku membuka pintu gedung itu, memberikan senyuman terbaik meski lelah dalam sebenarnya. Aku memijit arah ke atas lift. Pintu lift terbuka hingga tibalah aku di lantai sepuluh. "Ya Allah aku harus pulang jam berapa lagi?"

"Cobalah untuk berusaha menemuiku lagi. Sampaikanlah pada yang memberimu upah untuk tak lagi menyuruhmu pulang malam, sesekalaipun tak apa. Bilang padanya kau merindukanku, pun denganku. Atau kalau segan, berdoalah agar urusannya cepat diselesaikan. Selamat bekerja (kembali) kesayangan yang selalu memujiku. Aku sampaikan rasa cemburuku pada hujan yang mulai turun, mungkin ia akan menyampaikannya melalui kaca yang kau lihat dari lantai sepuluh. Selamat mengecap malam kesayangan yang selalu memujiku, aku rindu padamu". Tutur senja. 

Friday, April 24, 2015

Pertemuan Singkat


"Halo" sapanya dari sebelah. Kujawab iya pada sapaan itu.
"Sabtu malam nanti ku jadi kerumahmu ya, mungkin sore ku berangkat biar gak keburu hujan. Kamu nau dibawain apa?". Lanjut tanyanya. 
"Bayarlah saja dulu hutang-hutanmu, pertemuan berikutnya baru ku minta dibawakan".
"Siap jendral. Aku bawa sesuai permintaanmu. Tunggu aku ya." 

Sambungan terputus. Sudah pukul tiga waktu petang. Udara masih sangat panas diluar. Aku bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya. 


"Hai". Sapanya dari balik pagar rumah. 

"Mari masuk, sudah kusiapkan makan malam buatmu". 
"Tak usah, aku harusng langsung pulang. Aku harus membayar hutang-hutangku pada perempuan lain. Singgah dirumahmu untuk pertemuan selanjutnya saja. Ini janjiku. Lunas sudah hutangku? Aku pergi ya.'

Ia memutar balik arah motornya. Lalu melaju

Friday, April 10, 2015

Mahar Malam pada Kesendirian

Seperangkat mahar yang malam berikan dengan penuh kasih pada kesendirian; sebuah buku tentang Karl Marx, secangkir kopi Mandailing yang dimasak pada suhu arabica, dua lembar roti yang dibakar dengan isi meisis cokelat dan hiasan keju diatasnya, sepasang kacamata untuk melengkapi kesendirian membaca buku Karl Marx.

"Terimakasih telah mengerti untuk suasana hati kali ini, malam. Semoga dinginmu menambah keramaian terhadap diri." Ujar kesendirian pada malam.

"Sama-sama. Nikmatilah kehidupanmu selama engkau masih bisa menikmati. Lalu bersyukurlah. Jika ada mahar yang kurang dariku, sudilah kiranya engkau memanggilku kembali." Ucap si malam.

Malam kemudian bekerja sebagaimana mestinya. Si kesendirian sudah asik dengan suasananya. Beberapa keramaian dari celotehan-celotehan lelaki muncul beberapa meja dihadapannya. Asap-asap dari yang disebut Tuhan 9cm telah mengepul dari tadi.

"Aku masih setia untuk menunggumu disini. Aku pergi sampai engkau benar-benar memintaku untuk pergi." Lirih kesendirian

Thursday, April 9, 2015

Si Kopi dan Buku

Sudikah kiranya engkau menghabiskan malam ini melalui celoteh-celoteh pada tubuhku?" Sapa buku-buku pada setoples kopi yang berdiri tepat disampingnya.

"Malam ini terlalu dingin untuk kau bagikan sendiri, sayang. Marilah bermalam denganku. Kau boleh meraba tubuhku, lalu membacaku persatu kata. Kau bisa menikmati semuaku hingga kau merasa puas, asal kau tak sendiri lagi, sayang. Sebab malam terlalu egois membagi suasananya padamu, lalu aku rela berbagi kehangatan padamu."

Tak lama kemudian, si kopi pergi. Diantarkannya ia pada pilihan lain untuk membagj kedinginannya. Si buku tak diajak pergi.

"Maaf, sebab ia lebih membutuhkan kehangatanku dibandingku yang berada dalam toples itu. Bukankah aku diciptakan untuk seperti itu? Berbagi kehangatan dengan yang lain; asap-asap dari batang rokok, lelaki yang menghabiskan malamnya, lalu dengan celoteh dari mulut-mulut mereka. Aku berharap ada yang mengambilmu untuk ia bagikan kedinginanannya padamu, membasuh tubuhmu, lalu menjamahmu perkata-kata, lalu kita bisa berdampingan berdua." Ucap biji kopi yang telah menjadi secangkir minuman pada buku.

Tak lama kemudian, datanglah seorang perempuan. Sipit matanya tertutup oleh dua lensa yang menyanggah pada hidungnya. Hari belum terlalu malam, tapi dingin datang lebih dahulu.

"Mas, kok ada buku-buku". Tanya perempuan itu pada penjaga kafe.
"Iya, saya mau buka perpus. Ini baru sebagian. Selebihnya sedang pada proses." Jawab si penjaga pada perempuan yang bermata sipit itu.
"Aku pesen Mandailingnya ya, Mas. Sekalian ku pinjam Karl Marxnya ya". Pintanya.
"Iya ambil aja".

Perempuan itu memilih meja dekat tanaman-tanaman. Ia kemudian membaca buku yang dipilihnya. Tak lama kemudian, secangkir kopi datang dihadapannya.

"Syukurlah, kita bisa berdua kembali" ujar buku pada kopi. "Mari sama-sama memberi arti pada perempuan bermata sipit itu". Ujar si buku.

Thursday, April 2, 2015

Sendiri Menyepi


Adakalanya menyendiri itu lebih mengasyikkan daripada menghibur diri diantara keramaian. Sebab sedih tak melulu harus menghadirkan senyum sebagai penawarnya. Menyendiri bahkan lebih baik ketika futur itu menghampiri. Koreksi-koreksi diri harusnya mulai menyadari diri. Apakah benar yang sudah ku lakukan selama berhari-hari? Sebab hidayah tak punya kaki untuk berjalan. Hidayah laksana jelangkung yang jika menginginkan kehadirannya ku harus berjalan untuk menjemputnya.

"*Sendiri menyepi. Tenggelam dalam renungan. Ada apa aku seakan ku jauh dari ketenangan.
Perlahan kucari. Mengapa diriku hampa. Mungkin ada salah. Mungkin ku tersesat mungkin dan mungkin lagi." 

Hampa, bukanlah melulu sepi yang merindukan keramaian. Hampa bisa saja ada kala keramaian justru dianggap sebagai obatnya. Lalu, sudahkah ku mengoreksi diri??? Menghitung lalu mengingat-ngingat lagi apa yang sudah ku perbuat sebagai seorang mahluk yang sempurna diantara mahluk lain??

Ataukah hampa yang kurasa karena sebab lain? Mungkin dengan Mu, Ilahi?

"*Oh Tuhan aku merasa, sendiri menyepi. Inginku menangis menyesali diri mengapa terjadi. Sampai kapan ku begini. Resah tak bertepi. Kembalikan aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala, benderang di hidupku."

Illahi, Kau tahu apa yang kurasa malam ini. Aku tak bisa menyenyakkan malamku kali ini. Meski telah ku coba untuk berwudhu, meminum segelas susu hangat, juga rapalan-rapalan doa yang ku harapkan bisa memejamkan mata, namun keresahan itu kembali menghalanginya.

Illahi, Kau lebih tau apa yang ada dalam hati sebenarnya. Kembalikan aku untuk menuju-Mu. Berikan lagi cahaya itu yang selalu aku punya saat futur tak menjadi teman. Ku hanya tak ingin Engkau menjauhi ku.

*Lirik dari Edcoustic - Sendiri Menyepi