Sunday, June 28, 2015

Yuk Tarawih! bagian 1

Picture Source
Bahwasanya tak ada yang lebih patut untuk kita syukuri ketika Allah telah memberikan nikmat-Nya melalui umur panjang, lalu dipertemukannya dengan Ramadhan. 

Adalah rindu yang tiba-tiba hadir ketika semalam saat bangun dari sujud, dua orang anak laki-laki tiba-tiba dengan senyumannya yang sumringah hadir didepan muka. 

Sudah bukan hal yang asing lagi, ketika masjid/mushala, tarawih, dan anak-anak dijadikan satu lalu menjadilah berisik saat shalat. Orang-orang dewasa sibuk berkata "shhhhttt", berharap supaya anak-anak tak lagi bercanda saat shalat. Tak jarang mereka mengibas-ngibaskan sajadah agar anak-anak bisa berhenti. Tapi, namanya juga anak-anak, mana maulah mereka berhenti. Hehehehe. . 

Well, gegara semalam jadi inget dulu waktu kecil tarawih. Gak jauh berbeda dengan mereka yang sekarang. Berisik, pura-pura shalat dan keisengan lainnya yang dilakukan saat tarawih. . 

Yapp inilah yang gue lakuin ketika tarawih dulu; 

1. Shalat yang Tak Pernah Sempurna
  Tepuk tangan dan Mashaallah sama anak kecil yang shalatnya bisa sempurna dalam jumlahnya. Kecil dulu, gue teraweh gak pernah bisa sampai 23 rakaat. Pasti selalu ditengah-tengah berhenti. Biasanya gue sama temen-temen selalu shalat sampai shalat yang ketiga terus berhenti dan lanjutin lagi di rakaat ke empat belas. Patokan untuk memulai shalat lagi itu pas imam baca surat An-Nashr, yang berarti itu sudah hitungan ketujuh  
Tapi pada akhirnya gue tobat juga kok, ahahahak. .Gue sadar pas SMP. Teraweh pasti 23 rakaat, meski untuk mengawali rakaat baru dilaksanakan setelah imam selesai baca Al-Fatihah. Gue sadar Ramadhan itu cuma datang sekali. Gue udah gede. Apalagi sekarang, udah cukup dari umur gue yang seperempat abad gue sia-siain  Udah semestinya tahu bagaimana mengambil kesempatan selagi Allah ngasih panjang umur. Belum tentu tahun depannya gue bisa ngerasain lagi yang namanya teraweh. :)) 

2. Paling Gak Suka Diimamin sama Ustad yang Bacaannya Lama
Jadi sebelum tarawih itu, biasanya awal ramadhan gue selalu nitip sajadah sama anak-anak yang mau ke masjid buat ngeteg tempat, jadi pas terawehnyan gak perlu bingung-bingung cari tempat. Nah biasanya setelah itu suka pada ke mading masjid buat liat jadwal imam. Dannnnnn jreng. . Jreng. .ketika menemukan salah satu nama ustad yang biasanya kalau bacaannya panjang dan selalu pulang taraweh jam sembilan, kita langsung cemberut terus bete. Biasanya kalau udah tau si ustad ini gue sama anak-anak suka beli makanan dan bawa minum ke masjid. . Hehehehe

3. Makan Meitamie
Ketika setiap tarawih minta uang jajan, apa yang pasti dibeli?? Yaaakk Meitami :) . Makanan ringan ini wajib hadir setiap teraweh. Entah kenapa suka banget sama mie-miean ini. Dan untungnya yang jual ada di warung depan masjid, hehehehe. Jadi sebelum masuk masjid, ya masuk dulu ke warung cari cemilan ini, hihihi. Kapan makannya?? Makannya ya pas waktu istirahat salat itu. Dan jajanan ini jadi penolong banget kalau teraweh lagi diimamin sama imam yang lama. :)) 

4. Ikat Mukena Orang dan Pura-Pura Shalat
Dari sekian kenakalan selama teraweh mungkin ini kenakalan yang paling kurang ajar :(. Saat anak-anak gede sudah memulai terawehnya, gue sama temen gue malah ngiketin mukena paling bawahnya mereka, supaya pas mereka duduk ada yang ngeganjel, terus ketawa-ketawa. Pas teraweh udah bagian salam, gue sama temen malah pura-pura salam biar dikira solat. Astaghfirullah TT. 

5. Palsuin Tanda Tangan dan Isi Ceramah Buku Kegiatan Ramadhan
Astaghfirullah TT. Tobat gue tobat. Masih inget gimana betenya waktu disuruh isi buku ramadhan?? Awalnya seneng-seneng aja, tapi kan lama-lama bosen yaa . Apalagi antrinya itu buat minta tanda tangan. Jadi, ya gue tinggal liat aja buku ramadhan tahun lalu buat isi ceramahnya sama oret-oret tanda tangannya. :(( 

Dan pada akhirnya, setiap orang akan sadar pada waktunya kenapa teraweh itu penting. Semakin besar semakin tau betapa ruginya kalau ninggalin teraweh. Setahun hadir sekali, tidakkah engkau rindu? Malahan sekarang setiap malam takbiran suka nangis bukan karena besok mau solat id, tapi nangis karena apakah tahun depan masih bisa ikut?? 

Ampas yang Menjadi Baru


Adalah malam yang sepi bagi si perempuan untuk merasakan bahwa sekitarnya sangatlah ramai; petikan suara gitar dan alunan lagu yang dinyanyikan dari sekolompok pria yang membawanya semakin jauh dalam renungannnya.

Secangkir kopi Pedati yang diraciknya sendiri sudah habis ia teguk. Bersamaan dengan perasaan yang semakin jauh ia bawa ke dalam hatinya. "Menyebalkan! Kenapa sekolompok lelaki itu malah memainkan lagu yang mendukungku semakin jauh".

Perempuan itu menunduk, memainkan ampas kopi dengan kepala sendok lalu memindahkannya ke tisu kering. Didiamkannya. Lalu tangan-tangan jahilnya memainnkannya dalam kertas putih.

"Jika ampas kopi Pedati ini saja mampu membuat sebuah gambar menjadi baru,mengapa hatimu tidak?".

Tuesday, June 16, 2015

Pertemuan yang Tak Lagi Sama

Pukul setengah tujuh waktu di wilayah kita. Telepon genggam kita saling bergantian mengeluarkan bunyi yang sudah kita atur sendiri-sendiri. Bunyimu berada dari gedung yang jaraknya beberapa puluh kilometer dari gedung tempat bunyi telepon genggamku menggema.

Ping. Aku membaca pesan singkat darimu. "Aku sudah beranjak pulang. Kau pulang ya. Aku tunggu di kafe tempat biasa kita meraup habis aroma dan isi dari secangkir kopi".

Sudah barang tentu aku langsung mengemas barang-barang isi tas kerja, memastikan bahwa semuanya dalam keadaan yang baik dan tidak ada yang tertinggal; buku bacaan, beberapa lembar kertas, sebuah pena, sebuah kacamata, alat make up, sebotol cairan lensa, mukena, dan sebotol air minum yang telah kuisi penuh. Aku tak lekas pergi, aku masih harus membereskan berkas-berkas yang berantakan di meja kerja; berkas pengadilan, berkas perjanjian dengan bank, bukti uang masuk dan uang keluar yang sengaja aku letakkan ke dalam drawer untuk mereka beristirahat sebelum mereka ku acak-acak lagi esok pagi. Oh ya, aku tak lupa mematikan dahulu komputerku sambil membaca "alhamdulillah" atas pekerjaan yang telah kuselesaikan hari ini.

Adalah bahagia yang sangat sederhana ketika pukul setengah tujuh aku melewati lorong menuju finger print ini berada. Rasanya seperti "wah" bagi pegawai minoritas sepertiku yang hampir setiap harinya pulang selalu diatas jam delapan.

"Pilar, aku udah naik bis ya. Setengah jam lagi mungkin aku akan sampai."

***

Dua buah mata dari masing-masing yang kita punya, kini saling menatap sesama lawannya kembali. Sebelah mata kananku kini dapat lagi melihat mata sipitmu sebelah kiri. Lalu bagian kiriku yang tak mau hilang kesempatan untuk menatap mata kirimu.

Kau ingat tentang beberapa pertemuan silam kita, kedua mata kita juga pernah melakukan hal serupa, namun kali ini berbeda. Tak ada lagi sesuatu yang membuat kita tersenyum malu-malu saat kedua mata kita bertemu.

Kafe ini masih seperti apa adanya, tak ada yang berubah, tapi tidak dengan pertemuan kita. Tak lagi ada cerita tentang cinta yang kita buat bersama-sama; ocehan-ocehan yang keluar dari masing-masing mulut kita, yang kita harap bisa membuat lama-lama kita dalam asmara.

Pertemuan ini tak lagi sama. Kita memang bicara soal masa depan, tapi untuk masa depan masing-masing.


"Permisi, nih Sidikalang dan Kintamaninya, jangan diaduk dulu sampai bunyi ya". Pelayang itu menaruh dua cangkir kopi yang dibawanya dari dapur. Senyum pelayan itu masih sama, tapi tidak dengan pertemuan kita. Ia tidak tahu, kita tak lagi sama tentang cinta.