Hujan kali
ini t’lah memulangkanmu
Sudut-sudut
rumah menyimpan cerita
Teringat
nasehatmu mengiringi aku tumbuh
Lantas pada
siapa kini ku mengadu
Ayah
bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh
dalam kerinduan
Maafkan aku
tak sempat buatmu bangga
Andai waktu
dapat terulang
Ayah,
kembalilah
Ketika
matamu tak lagi terbuka
Ketika
tawamu sebatas kenangan
Teringat
ajaranmu melawan congkak dunia
Lantas pada
siapa kini ku mengadu
Ayah
bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh
dalam kerinduan
Maafkan aku
tak sempat buatmu bangga
Andai waktu
dapat terulang
Ayah,
kembalilah
Tentang
Ayah, oleh Fiersa Besari - https://soundcloud.com/fiersa/tentangayah
Salah satu penyesalan yang telah dibuat adalah ketika pada
sebuah pukul tiga pagi membuka salah satu media sosial, kemudian pada
dindingnya muncul sebuah tautan berbentuk video dari seorang Fiersa Besari yang
menawarkan sebuah lagu tentang ayah.
Ketika aku sangat enggan untuk memutar video tersebut
hingga akhirnya keputusan untuk membuka link dari catatan tautannya. Linknya
mengantarkanku pada sebuah lagu, aku memasang headset dan mulai mendengarkan.
Ayah
bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh
dalam kerinduan
Maafkan
aku tak sempat buatmu bangga
Andai
waktu dapat terulang
Ayah,
kembalilah
Aku mendengarkan dengan seksama, memastikan kata-kata dari lagu yang telah dibuatnya. Putaran pertama aku menghela napas.
Lalu kuputar lagi hingga beberapa kali pada media sosialnya.
Pada pukul tiga lewat tujuh belas menit aku kalah
dengan kekuatanku selama ini. Hanya karena lirik dari sebuah lagu aku harus
rela menyerah pada kerinduan. Air mata sudah jatuh. Aku selalu kalah dalam
kerinduanku yang ini, kalah pada dua hari sebelum kepergiannya yang dua tahun silam.
Salahku sendiri yang membuat tangisnya menjadi, bukannya
menghentikan tangisan, aku memulai mengunduh lagunya, memutarnya berulang kali
pada aplikasi di telepon genggamku, dan aku ikut menyerah berulang kali sampai
diktat yang sedang kukerjakan rangkumannya ikut basah. Ayah, aku selalu kalah
perihal rinduku kepadamu, dan kali ini aku kalah berulang kali hanya karena
sebuah lirik. Persetan, bukan?
Ayah, dua tahun kepergianmu belum bisa membuatku kuat
untuk kehilanganmu. Aku rindu, dan pada pagi yang belum memulai, aku sedang
berada pada puncaknya dan mungkin akan berlanjut untuk beberapa hari
kedepannya.
Ayah, sungguh tak cukup rasanya menuntaskan rindu
hanya dengan menemui nisan dan pusaramu, menebar bunga dan air mawar, meniatkan
tiap hal yang baik yang kulakukan untuk kelapangan kuburmu, berharap pada kebaikan
yang kubuat dapat membuat surga untukmu.
Rinduku tak cukup sampai disitu. Sungguh aku ingin
memelukmu meski hanya dalam mimpi. Datanglah, ayah, tidakkah ayah ingat kapan
terakhir ayah menemuiku? Terakhir yang kuingat ayah yang tiba-tiba datang dengan bekerja
sebagai internal auditor dan ayah tersenyum, senyum yang biasa ayah lakukan dan aku senang melihatmu kala itu.
Ayah sungguh tak cukup rasanya hanya doa-doa dan
berharap pada pahala yang sampai untuk kebahagianmu disana. Ayah kembalilah,
walau hanya semalam, lunaskanlah rinduku yang sudah dua bulan tidak ayah temui.
-
Hanya
karena sebuah lagu,
Aku
harus rela kalah untuk kekuatanku.
-
Sebab,
tak pernah ada yang benar-benar menginginkanmu pergi, ayah.
-
Rindu
yang paling sulit untuk dilunasi adalah ketika rindu itu dibuat untuk orang
yang tak mungkin lagi untuk ditemui.
Jok Belakang, 22 Oktober 2016.