Saturday, October 22, 2016

“Tentang Ayah”, Sebuah Refleksi Kerinduan untuk Dua Tahun yang Silam.


Hujan kali ini t’lah memulangkanmu
Sudut-sudut rumah menyimpan cerita
Teringat nasehatmu mengiringi aku tumbuh
Lantas pada siapa kini ku mengadu

Ayah bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh dalam kerinduan
Maafkan aku tak sempat buatmu bangga
Andai waktu dapat terulang
Ayah, kembalilah

Ketika matamu tak lagi terbuka
Ketika tawamu sebatas kenangan
Teringat ajaranmu melawan congkak dunia
Lantas pada siapa kini ku mengadu

Ayah bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh dalam kerinduan
Maafkan aku tak sempat buatmu bangga
Andai waktu dapat terulang
Ayah, kembalilah

Tentang Ayah, oleh Fiersa Besari - https://soundcloud.com/fiersa/tentangayah

Salah satu penyesalan yang telah dibuat adalah ketika pada sebuah pukul tiga pagi membuka salah satu media sosial, kemudian pada dindingnya muncul sebuah tautan berbentuk video dari seorang Fiersa Besari yang menawarkan sebuah lagu tentang ayah.

Ketika aku sangat enggan untuk memutar video tersebut hingga akhirnya keputusan untuk membuka link dari catatan tautannya. Linknya mengantarkanku pada sebuah lagu, aku memasang headset dan mulai mendengarkan.

Ayah bolehkah sekali ini ku menangis?
Runtuh dalam kerinduan
Maafkan aku tak sempat buatmu bangga
Andai waktu dapat terulang
Ayah, kembalilah

Aku mendengarkan dengan seksama, memastikan kata-kata dari lagu yang telah dibuatnya. Putaran pertama aku menghela napas. Lalu kuputar lagi hingga beberapa kali pada media sosialnya.

Pada pukul tiga lewat tujuh belas menit aku kalah dengan kekuatanku selama ini. Hanya karena lirik dari sebuah lagu aku harus rela menyerah pada kerinduan. Air mata sudah jatuh. Aku selalu kalah dalam kerinduanku yang ini, kalah pada dua hari sebelum kepergiannya yang dua tahun silam.

Salahku sendiri yang membuat tangisnya menjadi, bukannya menghentikan tangisan, aku memulai mengunduh lagunya, memutarnya berulang kali pada aplikasi di telepon genggamku, dan aku ikut menyerah berulang kali sampai diktat yang sedang kukerjakan rangkumannya ikut basah. Ayah, aku selalu kalah perihal rinduku kepadamu, dan kali ini aku kalah berulang kali hanya karena sebuah lirik. Persetan, bukan?

Ayah, dua tahun kepergianmu belum bisa membuatku kuat untuk kehilanganmu. Aku rindu, dan pada pagi yang belum memulai, aku sedang berada pada puncaknya dan mungkin akan berlanjut untuk beberapa hari kedepannya.

Ayah, sungguh tak cukup rasanya menuntaskan rindu hanya dengan menemui nisan dan pusaramu, menebar bunga dan air mawar, meniatkan tiap hal yang baik yang kulakukan untuk kelapangan kuburmu, berharap pada kebaikan yang kubuat dapat membuat surga untukmu.

Rinduku tak cukup sampai disitu. Sungguh aku ingin memelukmu meski hanya dalam mimpi. Datanglah, ayah, tidakkah ayah ingat kapan terakhir ayah menemuiku? Terakhir yang kuingat ayah yang tiba-tiba datang dengan bekerja sebagai internal auditor dan ayah tersenyum, senyum yang biasa ayah lakukan dan aku senang melihatmu kala itu.

Ayah sungguh tak cukup rasanya hanya doa-doa dan berharap pada pahala yang sampai untuk kebahagianmu disana. Ayah kembalilah, walau hanya semalam, lunaskanlah rinduku yang sudah dua bulan tidak ayah temui.


-         Hanya karena sebuah lagu,
Aku harus rela kalah untuk kekuatanku.

-         Sebab, tak pernah ada yang benar-benar menginginkanmu pergi, ayah.

-         Rindu yang paling sulit untuk dilunasi adalah ketika rindu itu dibuat untuk orang yang tak mungkin lagi untuk ditemui.


Jok Belakang, 22 Oktober 2016.