Sunday, November 20, 2016

Untuk Beberapa Potong Hari Perihal Rindu dan Cemburu - 1


Karena rindu aku ingin menemuimu.
Sebab telah beberapa hari aku telah ada tanpa ada obrolan-obrolan yang seperti biasa kita lakukan. Tak ada kata-kata yang biasa kita ucapkan untuk sekedar menyemangati hari-hari kita yang terlampau biasa. Tak ada rayu-rayu rindu yang terkadang membuat kita geli sendiri yang kemudian membuat kita bergurau “macam anak abg ya” dan kita tertawa dalam emot-emot yang tersedia. Rusaknya telepon genggammu membuat kita menjadi galau sendiri, menjadi tambahan kerjaan untuk memikirkan keadaan lawannya masing-masing, tapi kita tetap melewatinya dengan senyum.

Sesekali teleponku berdering. Suaramu. Aku senang. Meski hanya sehari sekali dalam sepuluh menit, setidaknya suaramu jauh lebih penting daripada rindu-rindu kita yang tertahan. Kita menanyakan kabar, menanyakan apa yang sudah biasa kita tanyakan dan kita menjawabnya. Kemudian, seperti biasa yang telah kita lakukan, kita berjanji untuk bertemu pada hari biasa, jam biasa, dan tempat yang biasa.

Hari itu tiba. Aku telah siap sejak pagi. Memilih baju yang terbaik untuk aku pakai agar terlihat cantik dimatamu. Memakai gelang, namun lagi-lagi tidak ada penunjuk jam yang melingkar di tangan kiri, batrainya telah habis tenaganya sejaka beberapa minggu silam, dan aku belum menggantinya. Aku pergi dengan senyum dengan harapan untuk bisa bertemu.

Karena cemburu setitik merusak rindu sebelanga.

Aku tak lagi tahu bagaimana menjelaskanmu. Tentang sore tadi, aku benar-benar tidak melihatmu datang. Bukannya aku kelabakan karena ketahuan berdua dengan seorang pria, karena tahu kamu baru datang lalu aku lari karena melihatmu. Sungguh dengan kekurangan penglihatanku, aku benar-benar tidak seperti yang kamu sangka. Aku berlari untuk mengejar yang kamu pun tahu aku biasa dengan siapa, dan lelaki itu, lelaki yang kamu sangka, ia mengejar temannya. Kita hanya teman sekelas, hanya teman yang arah rumahnya sejalan, dan hanya sama-sama mengejar teman kita masing-masing. Tidak lebih.
Aku menghampirimu. Tak aku sangka kamu sebegitu marahnya terhadapku. Aku menjelaskan dan kamu memintaku untuk naik ke motormu. Lalu kita pergi.

Gerimis menemui kita kala itu. Menemui kita untuk bisa meredam amarah kita masing-masing

Motormu mengarahkan ke sebuah warung makan. Kamu memintaku turun. Memintaku untuk menjelaskan tentang kejadian yang merusak rindu kita. Dan kita masih pada kata-kata kekesalan.

Kita masuk dengan sendiri-sendiri. Aku memilih tempat duduk yang agak dalam, kamu memintaku untuk pindah, menempati tempat duduk yang dua dari depan. Pelayan memberiku menu, dan aku memesan indomie rebus level sedang dan teh manis anget. Aku menyodorkan menu itu padamu, dan menyuruhmu memesan dengan nada ketus. Ah, lagi, aku meminta maaf untuk keketusanku.

Pesanan kita datang. Kita diam. Kita menikmati santapan kita masing-masing tanpa ada obrolan yang seharusnya mencairkan suasana ini. Sudah habis makananku. Aku mengeluarkan beberapa uang untuk kubayar sendiri makananku. Ah, kau paling tahu kalau aku sedang kesal, aku pasti akan membayar makananku sendiri, kadang kamu menerima lalu menggantikan uangnya dilain hari, kadang kamu membiarkan aku membayarnya langsung dan kamupun juga menggantinya dilain hari “ini uang simpenanmu di aku” ucapmu.


Kamu kembali menanyakan perihal tadi. Perihal cemburumu. Lalu kita saling berdebat dengan pendapat kita masing-masing. Aku kesal. Dan akupun tahu kamu juga kesal terhadapku. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku melempar begitu saja uang yang sudah kusiapkan dengan bon makanan ke mukamu. Aku lari. Aku pergi. Aku benci kamu kala itu.

2 comments:

  1. Nah, ini. Kujuga sedang cemburu. :(

    ReplyDelete
  2. Kalau lagi cemburu, ada baiknya untuk tidak saling berbicara. Terkadang emosi menguasai, dan kalau masih terbawa emosi, hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Itu sebabnya gue kalau lagi cemburu nggak mau ngobrol dulu. Kalau udah tenang, baru, saling mengoreksi diri :)

    ReplyDelete